
Di era yang dituntut serba cepat, ide bisnis tak bisa menunggu tim IT sibuk menulis ribuan baris kode. Di sinilah muncul dua pendekatan yang tengah mengubah wajah pengembangan perangkat lunak: Low-Code dan No-Code. Keduanya menjanjikan hal yang sama—cara cepat membangun solusi digital—tapi melalui pendekatan yang sedikit berbeda.
Low-Code memungkinkan developer, bahkan yang masih pemula, membangun aplikasi dengan hanya sebagian kecil kode. Biasanya digunakan untuk aplikasi yang kompleks, namun tetap bisa dikembangkan dengan drag-and-drop komponen visual dan integrasi otomatis. Platform seperti OutSystems, Mendix, atau Microsoft Power Apps menjadi contoh unggulan.
Sementara itu, No-Code menyasar pengguna non-teknis: guru, pemilik UMKM, analis bisnis, bahkan pelajar. Dengan platform seperti Bubble, Adalo, atau Glide, mereka bisa menciptakan aplikasi hanya dengan menyusun antarmuka, logika, dan integrasi lewat panel visual—tanpa mengetik satu baris kode pun.
Menurut laporan Forrester (2022), penggunaan platform low-code dan no-code akan mencapai lebih dari 65% total pengembangan aplikasi di dunia perusahaan pada 2025. Alasan utamanya? Kecepatan. Pengembangan aplikasi yang sebelumnya butuh waktu 6-9 bulan kini bisa dipercepat menjadi hanya hitungan minggu.
Ambil contoh studi kasus dari Heineken, yang mengadopsi Microsoft Power Platform untuk membangun lebih dari 40 aplikasi internal dalam waktu kurang dari 6 bulan—tanpa menambah tim IT. Atau Coda Payments, startup fintech dari Asia Tenggara yang memanfaatkan Bubble untuk merancang prototipe MVP sebelum akhirnya berpindah ke pengembangan full-stack.
Namun, tidak semua cocok dengan No-Code. Jika aplikasi membutuhkan logika kompleks, integrasi API tingkat lanjut, atau kontrol penuh terhadap performa dan keamanan, maka Low-Code (atau bahkan Full-Code) tetap dibutuhkan. No-Code unggul dalam kecepatan dan kemudahan, tapi Low-Code lebih fleksibel dan scalable.
Ada juga tantangan besar yang kerap diabaikan: shadow IT. Ketika tim non-teknis membuat solusi digital tanpa koordinasi dengan tim IT, risiko keamanan data dan duplikasi sistem bisa muncul. Maka dari itu, pendekatan kolaboratif dan kerangka tata kelola tetap dibutuhkan—meski teknologinya tanpa kode.
Inti dari revolusi Low-Code dan No-Code bukan sekadar mengganti engineer, tapi mendemokratisasi inovasi digital. Memberi siapa pun, dari berbagai latar belakang, kekuatan untuk membangun. Dunia tak lagi hanya dimiliki mereka yang paham bahasa pemrograman, tapi juga mereka yang punya ide dan kemauan untuk mewujudkannya.
Referensi Ilmiah dan Industri
- Forrester. (2022). The State of Low-Code Platforms 2022 Report.
- Gartner. (2023). Magic Quadrant for Enterprise Low-Code Application Platforms.
- van Brakel, P. A., & Matthee, M. C. (2020). No-Code and Low-Code Platforms for Business Users. Journal of Business and Technology.
- Microsoft Power Platform Case Studies. (2023). Digital Transformation with Citizen Developers.
- Mendix. (2022). Global Low-Code Adoption Research.